Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan
Esra Alfred Soru
Kitab
Kejadian pasal 1-2 dengan jelas menceritakan penciptaan manusia oleh
Allah. Manusia ada karena ada yang mengadakannya. Demikianlah kesaksian
Alkitab. Pertanyaan yang perlu dipikirkan dari fakta ini adalah alasan
penciptaan manusia itu oleh Allah. Mengapa Allah menciptakan manusia?
Inilah pertanyaan pertama yang harus ditanyakan jika orang ingin belajar
tentang penciptaan manusia itu. Francis Nawa Hoke mengatakan bahwa
pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan. (Doktrin Manusia; 1995
: 3). Mengapa Allah menciptakan manusia? Maksud dari pertanyaan ini
berhubungan dengan 2 hal yakni adakah sesuatu yang menyebabkan atau
memaksa Allah untuk melakukan tindakan penciptaan manusia? Ataukah
adakah suatu kebutuhan dalam diri Allah yang tak akan terpenuhi sebelum
Ia menciptakan manusia?
Supaya ada “obyek” kasih?
Jawaban
yang paling sering diberikan terhadap pertanyaan ini dikaitkan dengan
sifat Allah yang maha kasih. Allah adalah kasih maka kasih-Nya
membutuhkan obyek untuk dikasihi. Hal inilah yang menyebabkan Allah
perlu dan harus menciptakan manusia agar manusia itu dapat menjadi obyek
atau sasaran dari kasih-Nya itu. Manintiro Uling berkata : “Kita
mengerti bahwa kasih merupakan hakikat dasariah Allah. Karena kasih
sifatnya relasional maka kasih baru mungkin ada kalah ada yang dikasihi
(obyek kasih). Itulah sebabnya Allah menciptakan manusia agar dapat
menyalurkan dan mengekspresikan kasih-Nya itu. Tanpa itu kasih Allah
tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”. (Manusia di Mata Allah; hal. 13). Kelihatannya
jawaban semacam ini masuk akal tetapi sesungguhnya tidaklah Alkitabiah.
Jika kita berkata bahwa Allah adalah kasih dan oleh karena kasih-Nya
membutuhkan obyek untuk dikasihi dan karenanya Ia perlu dan harus
menciptakan manusia, maka itu berarti tanpa manusia, kasih Allah adalah
kasih yang “mengambang” dan tak bersasaran atau tak berobyek. Perhatikan
kalimat terakhir dari Uling di atas : “Tanpa itu (penciptaan manusia) kasih Allah tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”. Jelas
pandangan ini keliru sebab bagaimana mungkin di dalam kekekalan sebelum
Allah menciptakan manusia kasih-Nya tak berfungsi, tak berobyek dan
pasif? Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan
manusia, kasih Allah adalah kasih yang aktif, kasih yang bersasaran dan
kasih yang berobyek. Yoh 15:9 berkata : “Seperti Bapa mengasihi Aku…” dan selanjutnya ayat 10 berkata : “…dan tinggal di dalam kasih-Nya”. Bukankah
doktrin Tritunggal menyatakan bahwa ada tiga pribadi dalam satu
esensi/hakikat Allah yaitu Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus?
Ketiga-Nya itu esa dan kekal. Jadi menurut ayat-ayat di atas dapatlah
dipahami bahwa jauh di dalam kekekalan di mana Allah Tritunggal berada
telah terjalin hubungan kasih yang mesra di antara ketiga pribadi Allah
ini. Sekalipun ayat-ayat di atas tidak menyebutkan pribadi Roh Kudus,
tetapi dapat dipercaya bahwa ketiga-Nya terlibat dalam tindakan dan
relasi kasih ilahi yang suci dan murni (Devine Love) di mana Bapa mengasihi Anak dan Roh Kudus, Anak mengasihi Bapa dan Roh Kudus, Roh
Kudus mengasihi Bapa dan Anak. Kasih ilahi yang suci dan murni inilah
yang akhirnya direfleksikan dalam tindakan penciptaan manusia. Dengan
demikian tidak dapat dan tidak boleh dipikirkan bahwa Allah berada dalam
keadaan kesepian tanpa kehadiran manusia. Louis Berkhof berpendapat : “Walaupun
tidak diragukan lagi Allah menyatakan kebaikan diri-Nya dalam
penciptaan, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa kebaikan atau
kasih-Nya tidak dapat menyatakannya sendiri, jika seandainya tidak ada
dunia. Hubungan-hubungan pribadi dalam Allah Tritunggal memenuhi semua
yang perlu bagi hidup yang penuh dan kekal dari kasih”. (Teologi Sistematika-Doktrin Allah; 1993 : 252) Simak juga pendapat William W. Menzies dan Stanley M. Horton : “Kepribadian
juga memerlukan persahabatan atau persekutuan. Tetapi, sebelum alam
semesta diciptakan, di mana ada kemungkinan untuk bersahabat? Jawabannya
terletak pada susunan yang kompleks dalam keallahan. Kesatuan keallahan
tidak mengesampingkan kepribadian majemuk. Ada tiga kepribadian yang
jelas berbeda, masing-masing sepenuhnya ilahi, akan tetapi hubungan
timbal baliknya begitu rukun sehingga mereka merupakan satu hakikat” (Doktrin Alkitab; 1998 : 54). Selanjutnya : “Trinitas
ini merupakan suatu persekutuan yang harmonis dalam keallahan.
Persekutuan ini juga adalah persekutuan kasih, karena Allah adalah
kasih. Tetapi kasih-Nya adalah kasih yang ramah, bukan kasih yang
berpusat pada dir sendiri. Kasih seperti ini membutuhkan lebih dari satu
Oknum dalam keallahan (ibid : 55). Jadi jelaslah bahwa sebelum
Allah menciptakan manusia, kasih-Nya telah aktif, bersasaran dan
berobyek dan itu ditemukan dalam kenyataan ketritunggalan Allah. Dengan
demikian jelaslah bahwa jawaban pertama ini tidaklah tepat.
Supaya dapat memuliakan-Nya?
Selain
jawaban di atas, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Allah
menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Dengan kata lain Allah
menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Allah. Jawaban semacam
ini biasanya didasarkan pada ayat-ayat Alkitab seperti Yes 43:7 : “… yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku...”; Yes 60:21 : “…sebagai cangkokan yang Kutanam sendiri untuk memperlihatkan keagungan-Ku”, Yes 61:3 : “…supaya orang menyebutkan mereka "pohon tarbantin kebenaran", "tanaman TUHAN" untuk memperlihatkan keagungan-Nya.” dan beberapa ayat lainnya. Dengan melihat ayat-ayat di atas John Wesley Brill menyimpulkan bahwa : ‘Keinginan
besar Tuhan Allah dalam menciptakan alam ini adalah semata-mata untuk
diri-Nya sendiri, dan untuk kemuliaan-Nya sendiri, dan untuk menyatakan dalam makhluk-Nya kesempurnaan diri-Nya sendiri’. (Dasar Yang Teguh; 1998: 67-68).
Pendapat
ini tentunya menarik tapi biarlah kita memikirkannya dengan lebih
serius. Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Atau Allah
menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Dia. Pertanyaan
pertama yang perlu kita ajukan adalah “apakah Allah kurang mulia sehingga Ia perlu menciptakan manusia agar dapat menambah kemuliaan-Nya?” “Apakah Allah kurang mulia sehingga membutuhkan tambahan kemuliaan dari manusia?” Bukankah Allah itu mulia bahkan maha mulia? Kalau
Allah maha mulia mengapa Ia perlu dimuliakan atau melakukan sesuatu
untuk dimuliakan? Sebelum menjawab semua pertanyaan ini kita perlu sadar
bahwa jika Allah maha mulia maka ketika manusia tidak memuliakan Allah,
itu tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan-Nya dan walaupun
manusia memuliakan Allah, itu tidak menambah apa-apa pada kemuliaan-Nya.
Jadi Allah tidak bertambah mulia jika manusia memuliakan-Nya atau
kurang mulia karena manusia tidak memuliakan-Nya. Allah tidak bertambah
tinggi karena manusia meninggikan-Nya atau menjadi kurang tinggi karena
manusia tidak meninggikan-Nya. Tony Evans berkata : “Anda
tidak bisa memberikan sesuatu yang dapat mempertinggi tingkatan Allah,
atau mengambil sesuatu dari-Nya yang dapat mengurangi tingkatan-Nya.
Allah memang demikian karena Ia sepenuhnya Allah”. (Allah Kita Maha Agung; 1999
: 73). Semuanya ini berhubungan dengan konsep kesempurnaan Allah di
mana Ia tidak mungkin menjadi lebih….. dan menjadi kurang…… Ia tidak
dapat menjadi lebih besar atau menjadi kurang besar. Ia tidak dapat
menjadi lebih baik atau menjadi kurang baik. Ia tidak dapat menjadi
lebih setia atau menjadi kurang setia. Perhatikan pendapat A.W. Tozer : ‘Oleh
karena Ia adalah Allah yang di atas segala sesuatu, maka Ia tidak dapat
ditinggikan lagi. Tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripada
Allah, dan tidak ada sesuatu yang di luar jangkauan-Nya.....Oleh karena
tidak ada seorang pun yang dapat lebih meninggikan Dia, maka tidak ada
seorang pun yang dapat merendahkan Dia. Di dalam Alkitab dituliskan
bahwa Ia menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan
(Ibrani 1 :3), Bagaimana mungkin Ia ditinggikan atau didukung oleh
sesuatu yang ditopang-Nya ? (Mengenal Yang Maha Kudus : 51). Jika Allah bisa bertambah begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang lebih begini dan begitu daripada Allah dan seharusnya oknum itulah Allah. Jika Allah bisa kurang begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang tidak bisa kurang begini dan begitu seperti Allah dan oknum itulah yang seharusnya menjadi Allah. Jadi semua sifat Allah itu ‘permanen’.
Demikian juga dengan kemuliaan Allah. Allah tidak dapat menjadi
bertambah mulia atau menjadi kurang mulia. Kemuliaan-Nya itu bersifat “permanen”. Simaklah kata-kata Tony Evans ketika membahas sifat kemahasempurnaan Allah : ‘Arti
sifat Allah ini ialah bahwa Allah itu lengkap secara penuh dan absolut.
Tak ada sesuatu pun yang bisa ditambahkan kepada-Nya atau diambil
daripada-Nya....ini menjelaskan mengapa Alkitab mengatakan, tidak ada
yang dapat dibandingkan dengan Allah’ (Tony Evans : 67). Dengan demikian untuk menemukan alasan penciptaan manusia oleh Allah "haruslah dihindari bayangan bahwa Allah adalah semacam pribadi yang haus pujian, penghormatan dan pemujaan”. (Louis Leahy; Filsafat Ketuhanan Kontemporer; 1993 : 233). Leahy melanjutkan : “dari
ajaran mengenai kesempurnaan Allah sendiri, dapatlah dikatakan bahwa
Allah dengan mencipta sama sekali tidak mungkin mencari kebaikan-Nya
sendiri, baik untuk mendapatkannya maupun untuk menjaga dan
menambahkannya.” (Ibid).
Kalau demikian "mengapa Allah menciptakan manusia?” Atau “apa tujuan Allah menciptakan manusia?” Lalu bagaimana dengan ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21 ; 61:3 yang dikutip di atas? Pertama-tama haruslah disadari bahwa konsep
kesempurnaan Allah tidak memperbolehkan kita untuk memikirkan alasan
bagi setiap tindakan Allah berdasarkan dorongan internal ataupun tekanan
eksternal. Jadi sewaktu Allah menciptakan manusia, itu sama sekali
tidak disebabkan oleh dorongan internal maupun tekanan eksternal. Tidak disebabkan oleh dorongan internal
maksudnya adalah bahwa tidak ada suatu pun kekurangan dalam diri Allah
yang menyebabkan Ia perlu dan harus mencipta untuk menutupi atau mengisi
kekurangan-Nya itu. Tony Evans kembali berkata : ‘...Allah
ini ’independen’ dari ciptaan-Nya. Dengan ‘independen’ saya maksudkan,
Allah itu tidak membutuhkan apa pun….agar Ia dapat tetap menjadi Allah. (Tony Evans : 72). Allah adalah Ia yang cukup bagi diri-Nya sendiri. Simak juga kata-kata A.W. Tozer : “Dengan
mengakui bahwa di dalam Allah ada kebutuhan, maka itu berarti mengakui
bahwa pada diri Allah terdapat suatu kekurangan. “Perlu” merupakan kata
bagi makhluk ciptaan dan tidak dapat diterapkan kepada Sang Pencipta”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Allah tidak akan menjadi lebih besar karena kita ada dan juga tidak akan menjadi lebih kecil jika kita ini tidak ada”. (ibid : 52). Tidak disebabkan oleh tekanan eksternal maksudnya bahwa tidak ada suatu apapun atau siapapun yang memaksa Allah melakukan tindakan penciptaan manusia. Ia
tidak menciptakan manusia karena suatu tekanan dari luar diri-Nya. Ia
tidak perlu taat atau merasa diteror oleh apapun atau siapapun. Ia tidak
melakukan sesuatu atas pesanan atau ultimatum apapun atau siapapun.
Evans mengomentari hal ini dengan berkata : ‘Tidak ada satu pengaruh pun yang telah menjadikan Allah sebagaimana ada-Nya sekarang. Allah
yang sekarang adalah sepenuhnya sama dengan Allah yang dahulu. Allah
yang sekarang dan Allah yang dahulu adalah sepenuhnya Allah yang akan
datang” (Tony Evans : 73). Jika Allah menciptakan manusia maka itu
harus dipahami semata-mata karena tindakan bebas-Nya atau dengan kata
lain karena Ia mau mencipta. Penciptaan manusia adalah tindakan bebas dari Allah dan bukan tindakan penting dari Allah. Evans kembali berkata : “Allah tidak menjalankan fungsi-Nya karena suatu keharusan”. (ibid : 72). Ia melanjutkan : “..Allah
berhubungan dengan segala sesuatu karena kerelaan-Nya, Ia tidak wajib
berhubungan dengan apa pun. Dengan kata lain, Allah berkontak dengan
ciptaan-Nya karena Ia menghendakinya, dan bukan karena Ia
membutuhkan-Nya”. (ibid : 73). A.W. Tozer juga berkomentar : “Allah
memiliki suatu hubungan sukarela dengan segala sesuatu yang
dijadikan-Nya, tetapi Ia tidak membutuhkan hubungan apa pun dengan
sesuatu di luar diri-Nya sendiri. Minat-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya
timbul dari kesenangan-Nya yang agung dan bukan karena suatu kebutuhan
yang dapat dipenuhi oleh makhluk-makhluk itu dan juga bukan supaya
makhluk-makhluk itu menyempurnakan diri-Nya, karena diri-Nya sendiri
sudah sempurna”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Bahwa
kita ini ada itu sama sekali merupakan keputusan Allah yang ditentukan
atas kemauan-Nya sendiri, sama sekali bukan karena kita layak atau
karena Allah membutuhkan kita”. (ibid : 52).
Dalam
kaitannya dengan masalah kemuliaan yang telah disinggung di atas,
sebenarnya penciptaan manusia oleh Allah bukanlah dimaksudkan untuk
memperoleh kemuliaan, melainkan sebaliknya yaitu untuk menyatakan
kemuliaan-Nya kepada manusia. Berkhof kembali berkata : ‘Allah menciptakan bukanlah pertama-tama untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk menyatakan keluar segala kemuliaan-Nya’. (Berkhof : 253). Berkhof melanjutkan : ‘Tujuan
paling utama yang dilihat-Nya bukanlah untuk memperoleh kemuliaan,
tetapi untuk memanifestasikan kemuliaan-Nya dalam buah pekerjaan-Nya (ibid : 256). Perhatikan juga sebuah kalimat dalam buku Kepercayaan dan Kehidupan Kristen hal. 131 : “Manusia
diciptakan oleh Allah...dengan maksud agar manusia dapat bersekutu
dengan Allah dan mencerminkan kemuliaan-Nya di dunia’. Bandingkan ini dengan pendapat Henry C. Thiessen: ‘Pertama dan terutama, Ia menciptakan alam semesta ini untuk mempertunjukkan kemuliaan-Nya.’ (Teologi Sistematika ; 2000
: 181). Dengan kata lain penciptaan itu merupakan tindakan Allah
merealisasikan dan mengkomunikasikan kemuliaan-Nya. Leahy kembali
berkata bahwa : “Kemuliaan Allah terletak dalam komunikasi
kebaikan-Nya kepada ciptaan-ciptaan-Nya itu sendiri. Kemuliaan Allah
adalah manusia yang hidup”. (Leahy : 234). Leahy juga membagi kemuliaan Allah menjadi dua bagian yaitu (1) Kemuliaan Allah obyektif yakni kemuliaan Allah yang “permanen” dan sempurna dalam diri-Nya (seperti yang telah dijelaskan di atas) dan (2) Kemuliaan Allah formal yang berisi pengakuan komunikasi itu oleh pihak manusia. (ibid) sebagaimana kata Berkhof : “…pujian
kepada sang pencipta tidaklah menambahkan apa-apa kepada kesempurnaan
keberadaan-Nya, tetapi hanyalah mengakui kebesaran-Nya dan memberikan
kepada-Nya kemuliaan bagi-Nya”. (Berkhof : 257). Dengan pengertian
semacam ini maka sesungguhnya ketika manusia “memuliakan” dan
mengagungkan Tuhan, itu bukan berarti manusia memberikan tambahan
kemuliaan kepada-Nya, melainkan manusia mengakui kemuliaan-Nya yang
telah dinyatakan dan dikomunikasikan kepada, melalui dan di dalam
manusia itu. Inilah kemuliaan Allah formal, dan di sini pula terletak arti dari penciptaan manusia. Berkhof berkata : ‘Tujuan
tertinggi Allah dalam penciptaan, manifestasi kemuliaan-Nya, mencakup
juga kebahagiaan dan keselamatan bagi makhluk-Nya, dan penerimaan pujian
dari hati yang bersyukur dan mau menyembah’ (ibid : 253) dan Stephen Tong menulis : “Prinsip memuji Tuhan adalah manusia mengembalikan kemuliaan kepada Allah dalam statusnya sebagai manusia”. (Roh Kudus, Doa dan Kebangunan; 1995:62). Thiessen merangkum kedua kemuliaan ini (kemuliaan Allah obyektif dan kemuliaan Allah formal) dengan berkata : ‘Alam
semesta merupakan hasil karya Allah yang diciptakan dengan tujuan untuk
memperlihatkan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, patutlah kita
mempelajarinya agar dapat menyaksikan kemuliaan Allah. Selain itu,
adalah wajar bagi kita untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk memuliakan
Dia’. (Thiessen : 182). Adalah tak mungkin seorang gubernur
memberikan tanda penghargaan kepada seorang presiden. Kalaupun ada itu
adalah penghargaan yang tak berarti. Tetapi sangatlah berarti jika
seorang presiden memberikan penghargaan kepada seorang gubernur. Dan
lebih berarti lagi jika gubernur yang telah menerima tanda penghargaan
itu menghargai sang presiden (penghargaan formal). Dalam konteks inilah
ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21; 61:3; harus ditafsirkan. Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa alasan atau tujuan Allah menciptakan
manusia bukanlah untuk mencari keuntungan atau kemuliaan bagi diri-Nya
sendiri. Tindakan penciptaan itu bebas dari
dorongan internal maupun tekanan eksternal. Ia menciptakan alam semesta
termasuk manusia di dalamnya semata-mata karena Ia mau mencipta dan Ia
berkehendak untuk merefleksikan, merealisasikan, menyatakan dan
mengkomunikasikan kasih dan kemuliaan-Nya kepada, melalui dan di dalam
manusia. A.W. Tozer menulis : ‘Persoalan mengapa Allah
menciptakan alam semesta ini masih merupakan persoalan para ahli pikir ;
tetapi jika kita tidak dapat mengetahui mengapa, paling sedikit kita
mengetahui bahwa Ia tidak menjadikan dunia ini untuk memenuhi kebutuhan
diri-Nya sendiri, seperti seorang yang membangun sebuah rumah untuk
melindungi dirinya dari hujan dan panas atau menanam jagung di ladang
untuk memperoleh makanan. Bagi Allah kata ‘perlu’ itu sama sekali
asing’. (Tozer : 51). TERPUJILAH ALLAH YANG TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA, TERMASUK TIDAK MEMBUTUHKAN AKU DAN KAU.
Shalom bapak, ibu dan saudara/i yang dikasihi oleh Tuhan. Apakah ada diantara bapak, ibu maupun saudara/i yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael dan V'ahavta? Kalimat pernyataan keesaan YHWH ( Adonai/ Hashem ) dan perintah untuk mengasihiNya yang dapat kita temukan dalam Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 5 yang juga pernah dikutip oleh Yeshua/ ישוע/ Yesus di dalam Injil khususnya dalam Markus 12 : 29 - 31, sementara perintah untuk mengasihi sesama manusia dapat kita temukan dalam Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18. Mari kita pelajari cara membacanya satu-persatu seperti yang akan dijabarkan di bawah ini :
BalasHapusUlangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 5, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃. וְאָ֣הַבְתָּ֔ אֵ֖ת יְהֹוָ֣ה אֱלֹהֶ֑יךָ בְּכׇל־לְבָבְךָ֥ וּבְכׇל־נַפְשְׁךָ֖ וּבְכׇל־מְאֹדֶֽךָ׃. "
[ Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " Shema Yisrael! YHWH [ Adonai ] Eloheinu, YHWH [ Adonai ] ekhad. V'ahavta e YHWH [ Adonai ] Eloheikha bekol levavkha uvkol nafshekha uvkol me'odekha ]
Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18, " וְאָֽהַבְתָּ֥ לְרֵעֲךָ֖ כָּמ֑וֹךָ. "
[ Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " V'ahavta l'reakha kamokha " ]
Untuk artinya dapat dilihat pada Alkitab LAI.
Diucapkan juga kalimat berkat seperti ini setelah diucapkannya Shema
" . בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד. "
( Barukh Shem kevod malkuto, le'olam va'ed, artinya Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selamanya )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜✍🏼🕯️❤️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🦁🦅🐂🐏🐑🐎🦌🐪🕊️🐍₪🇮🇱