Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan
Esra Alfred Soru
Kitab
Kejadian pasal 1-2 dengan jelas menceritakan penciptaan manusia oleh
Allah. Manusia ada karena ada yang mengadakannya. Demikianlah kesaksian
Alkitab. Pertanyaan yang perlu dipikirkan dari fakta ini adalah alasan
penciptaan manusia itu oleh Allah. Mengapa Allah menciptakan manusia?
Inilah pertanyaan pertama yang harus ditanyakan jika orang ingin belajar
tentang penciptaan manusia itu. Francis Nawa Hoke mengatakan bahwa
pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan. (Doktrin Manusia; 1995
: 3). Mengapa Allah menciptakan manusia? Maksud dari pertanyaan ini
berhubungan dengan 2 hal yakni adakah sesuatu yang menyebabkan atau
memaksa Allah untuk melakukan tindakan penciptaan manusia? Ataukah
adakah suatu kebutuhan dalam diri Allah yang tak akan terpenuhi sebelum
Ia menciptakan manusia?
Supaya ada “obyek” kasih?
Jawaban
yang paling sering diberikan terhadap pertanyaan ini dikaitkan dengan
sifat Allah yang maha kasih. Allah adalah kasih maka kasih-Nya
membutuhkan obyek untuk dikasihi. Hal inilah yang menyebabkan Allah
perlu dan harus menciptakan manusia agar manusia itu dapat menjadi obyek
atau sasaran dari kasih-Nya itu. Manintiro Uling berkata : “Kita
mengerti bahwa kasih merupakan hakikat dasariah Allah. Karena kasih
sifatnya relasional maka kasih baru mungkin ada kalah ada yang dikasihi
(obyek kasih). Itulah sebabnya Allah menciptakan manusia agar dapat
menyalurkan dan mengekspresikan kasih-Nya itu. Tanpa itu kasih Allah
tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”. (Manusia di Mata Allah; hal. 13). Kelihatannya
jawaban semacam ini masuk akal tetapi sesungguhnya tidaklah Alkitabiah.
Jika kita berkata bahwa Allah adalah kasih dan oleh karena kasih-Nya
membutuhkan obyek untuk dikasihi dan karenanya Ia perlu dan harus
menciptakan manusia, maka itu berarti tanpa manusia, kasih Allah adalah
kasih yang “mengambang” dan tak bersasaran atau tak berobyek. Perhatikan
kalimat terakhir dari Uling di atas : “Tanpa itu (penciptaan manusia) kasih Allah tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”. Jelas
pandangan ini keliru sebab bagaimana mungkin di dalam kekekalan sebelum
Allah menciptakan manusia kasih-Nya tak berfungsi, tak berobyek dan
pasif? Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan
manusia, kasih Allah adalah kasih yang aktif, kasih yang bersasaran dan
kasih yang berobyek. Yoh 15:9 berkata : “Seperti Bapa mengasihi Aku…” dan selanjutnya ayat 10 berkata : “…dan tinggal di dalam kasih-Nya”. Bukankah
doktrin Tritunggal menyatakan bahwa ada tiga pribadi dalam satu
esensi/hakikat Allah yaitu Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus?
Ketiga-Nya itu esa dan kekal. Jadi menurut ayat-ayat di atas dapatlah
dipahami bahwa jauh di dalam kekekalan di mana Allah Tritunggal berada
telah terjalin hubungan kasih yang mesra di antara ketiga pribadi Allah
ini. Sekalipun ayat-ayat di atas tidak menyebutkan pribadi Roh Kudus,
tetapi dapat dipercaya bahwa ketiga-Nya terlibat dalam tindakan dan
relasi kasih ilahi yang suci dan murni (Devine Love) di mana Bapa mengasihi Anak dan Roh Kudus, Anak mengasihi Bapa dan Roh Kudus, Roh
Kudus mengasihi Bapa dan Anak. Kasih ilahi yang suci dan murni inilah
yang akhirnya direfleksikan dalam tindakan penciptaan manusia. Dengan
demikian tidak dapat dan tidak boleh dipikirkan bahwa Allah berada dalam
keadaan kesepian tanpa kehadiran manusia. Louis Berkhof berpendapat : “Walaupun
tidak diragukan lagi Allah menyatakan kebaikan diri-Nya dalam
penciptaan, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa kebaikan atau
kasih-Nya tidak dapat menyatakannya sendiri, jika seandainya tidak ada
dunia. Hubungan-hubungan pribadi dalam Allah Tritunggal memenuhi semua
yang perlu bagi hidup yang penuh dan kekal dari kasih”. (Teologi Sistematika-Doktrin Allah; 1993 : 252) Simak juga pendapat William W. Menzies dan Stanley M. Horton : “Kepribadian
juga memerlukan persahabatan atau persekutuan. Tetapi, sebelum alam
semesta diciptakan, di mana ada kemungkinan untuk bersahabat? Jawabannya
terletak pada susunan yang kompleks dalam keallahan. Kesatuan keallahan
tidak mengesampingkan kepribadian majemuk. Ada tiga kepribadian yang
jelas berbeda, masing-masing sepenuhnya ilahi, akan tetapi hubungan
timbal baliknya begitu rukun sehingga mereka merupakan satu hakikat” (Doktrin Alkitab; 1998 : 54). Selanjutnya : “Trinitas
ini merupakan suatu persekutuan yang harmonis dalam keallahan.
Persekutuan ini juga adalah persekutuan kasih, karena Allah adalah
kasih. Tetapi kasih-Nya adalah kasih yang ramah, bukan kasih yang
berpusat pada dir sendiri. Kasih seperti ini membutuhkan lebih dari satu
Oknum dalam keallahan (ibid : 55). Jadi jelaslah bahwa sebelum
Allah menciptakan manusia, kasih-Nya telah aktif, bersasaran dan
berobyek dan itu ditemukan dalam kenyataan ketritunggalan Allah. Dengan
demikian jelaslah bahwa jawaban pertama ini tidaklah tepat.
Supaya dapat memuliakan-Nya?
Selain
jawaban di atas, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Allah
menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Dengan kata lain Allah
menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Allah. Jawaban semacam
ini biasanya didasarkan pada ayat-ayat Alkitab seperti Yes 43:7 : “… yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku...”; Yes 60:21 : “…sebagai cangkokan yang Kutanam sendiri untuk memperlihatkan keagungan-Ku”, Yes 61:3 : “…supaya orang menyebutkan mereka "pohon tarbantin kebenaran", "tanaman TUHAN" untuk memperlihatkan keagungan-Nya.” dan beberapa ayat lainnya. Dengan melihat ayat-ayat di atas John Wesley Brill menyimpulkan bahwa : ‘Keinginan
besar Tuhan Allah dalam menciptakan alam ini adalah semata-mata untuk
diri-Nya sendiri, dan untuk kemuliaan-Nya sendiri, dan untuk menyatakan dalam makhluk-Nya kesempurnaan diri-Nya sendiri’. (Dasar Yang Teguh; 1998: 67-68).
Pendapat
ini tentunya menarik tapi biarlah kita memikirkannya dengan lebih
serius. Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Atau Allah
menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Dia. Pertanyaan
pertama yang perlu kita ajukan adalah “apakah Allah kurang mulia sehingga Ia perlu menciptakan manusia agar dapat menambah kemuliaan-Nya?” “Apakah Allah kurang mulia sehingga membutuhkan tambahan kemuliaan dari manusia?” Bukankah Allah itu mulia bahkan maha mulia? Kalau
Allah maha mulia mengapa Ia perlu dimuliakan atau melakukan sesuatu
untuk dimuliakan? Sebelum menjawab semua pertanyaan ini kita perlu sadar
bahwa jika Allah maha mulia maka ketika manusia tidak memuliakan Allah,
itu tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan-Nya dan walaupun
manusia memuliakan Allah, itu tidak menambah apa-apa pada kemuliaan-Nya.
Jadi Allah tidak bertambah mulia jika manusia memuliakan-Nya atau
kurang mulia karena manusia tidak memuliakan-Nya. Allah tidak bertambah
tinggi karena manusia meninggikan-Nya atau menjadi kurang tinggi karena
manusia tidak meninggikan-Nya. Tony Evans berkata : “Anda
tidak bisa memberikan sesuatu yang dapat mempertinggi tingkatan Allah,
atau mengambil sesuatu dari-Nya yang dapat mengurangi tingkatan-Nya.
Allah memang demikian karena Ia sepenuhnya Allah”. (Allah Kita Maha Agung; 1999
: 73). Semuanya ini berhubungan dengan konsep kesempurnaan Allah di
mana Ia tidak mungkin menjadi lebih….. dan menjadi kurang…… Ia tidak
dapat menjadi lebih besar atau menjadi kurang besar. Ia tidak dapat
menjadi lebih baik atau menjadi kurang baik. Ia tidak dapat menjadi
lebih setia atau menjadi kurang setia. Perhatikan pendapat A.W. Tozer : ‘Oleh
karena Ia adalah Allah yang di atas segala sesuatu, maka Ia tidak dapat
ditinggikan lagi. Tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripada
Allah, dan tidak ada sesuatu yang di luar jangkauan-Nya.....Oleh karena
tidak ada seorang pun yang dapat lebih meninggikan Dia, maka tidak ada
seorang pun yang dapat merendahkan Dia. Di dalam Alkitab dituliskan
bahwa Ia menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan
(Ibrani 1 :3), Bagaimana mungkin Ia ditinggikan atau didukung oleh
sesuatu yang ditopang-Nya ? (Mengenal Yang Maha Kudus : 51). Jika Allah bisa bertambah begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang lebih begini dan begitu daripada Allah dan seharusnya oknum itulah Allah. Jika Allah bisa kurang begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang tidak bisa kurang begini dan begitu seperti Allah dan oknum itulah yang seharusnya menjadi Allah. Jadi semua sifat Allah itu ‘permanen’.
Demikian juga dengan kemuliaan Allah. Allah tidak dapat menjadi
bertambah mulia atau menjadi kurang mulia. Kemuliaan-Nya itu bersifat “permanen”. Simaklah kata-kata Tony Evans ketika membahas sifat kemahasempurnaan Allah : ‘Arti
sifat Allah ini ialah bahwa Allah itu lengkap secara penuh dan absolut.
Tak ada sesuatu pun yang bisa ditambahkan kepada-Nya atau diambil
daripada-Nya....ini menjelaskan mengapa Alkitab mengatakan, tidak ada
yang dapat dibandingkan dengan Allah’ (Tony Evans : 67). Dengan demikian untuk menemukan alasan penciptaan manusia oleh Allah "haruslah dihindari bayangan bahwa Allah adalah semacam pribadi yang haus pujian, penghormatan dan pemujaan”. (Louis Leahy; Filsafat Ketuhanan Kontemporer; 1993 : 233). Leahy melanjutkan : “dari
ajaran mengenai kesempurnaan Allah sendiri, dapatlah dikatakan bahwa
Allah dengan mencipta sama sekali tidak mungkin mencari kebaikan-Nya
sendiri, baik untuk mendapatkannya maupun untuk menjaga dan
menambahkannya.” (Ibid).
Kalau demikian "mengapa Allah menciptakan manusia?” Atau “apa tujuan Allah menciptakan manusia?” Lalu bagaimana dengan ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21 ; 61:3 yang dikutip di atas? Pertama-tama haruslah disadari bahwa konsep
kesempurnaan Allah tidak memperbolehkan kita untuk memikirkan alasan
bagi setiap tindakan Allah berdasarkan dorongan internal ataupun tekanan
eksternal. Jadi sewaktu Allah menciptakan manusia, itu sama sekali
tidak disebabkan oleh dorongan internal maupun tekanan eksternal. Tidak disebabkan oleh dorongan internal
maksudnya adalah bahwa tidak ada suatu pun kekurangan dalam diri Allah
yang menyebabkan Ia perlu dan harus mencipta untuk menutupi atau mengisi
kekurangan-Nya itu. Tony Evans kembali berkata : ‘...Allah
ini ’independen’ dari ciptaan-Nya. Dengan ‘independen’ saya maksudkan,
Allah itu tidak membutuhkan apa pun….agar Ia dapat tetap menjadi Allah. (Tony Evans : 72). Allah adalah Ia yang cukup bagi diri-Nya sendiri. Simak juga kata-kata A.W. Tozer : “Dengan
mengakui bahwa di dalam Allah ada kebutuhan, maka itu berarti mengakui
bahwa pada diri Allah terdapat suatu kekurangan. “Perlu” merupakan kata
bagi makhluk ciptaan dan tidak dapat diterapkan kepada Sang Pencipta”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Allah tidak akan menjadi lebih besar karena kita ada dan juga tidak akan menjadi lebih kecil jika kita ini tidak ada”. (ibid : 52). Tidak disebabkan oleh tekanan eksternal maksudnya bahwa tidak ada suatu apapun atau siapapun yang memaksa Allah melakukan tindakan penciptaan manusia. Ia
tidak menciptakan manusia karena suatu tekanan dari luar diri-Nya. Ia
tidak perlu taat atau merasa diteror oleh apapun atau siapapun. Ia tidak
melakukan sesuatu atas pesanan atau ultimatum apapun atau siapapun.
Evans mengomentari hal ini dengan berkata : ‘Tidak ada satu pengaruh pun yang telah menjadikan Allah sebagaimana ada-Nya sekarang. Allah
yang sekarang adalah sepenuhnya sama dengan Allah yang dahulu. Allah
yang sekarang dan Allah yang dahulu adalah sepenuhnya Allah yang akan
datang” (Tony Evans : 73). Jika Allah menciptakan manusia maka itu
harus dipahami semata-mata karena tindakan bebas-Nya atau dengan kata
lain karena Ia mau mencipta. Penciptaan manusia adalah tindakan bebas dari Allah dan bukan tindakan penting dari Allah. Evans kembali berkata : “Allah tidak menjalankan fungsi-Nya karena suatu keharusan”. (ibid : 72). Ia melanjutkan : “..Allah
berhubungan dengan segala sesuatu karena kerelaan-Nya, Ia tidak wajib
berhubungan dengan apa pun. Dengan kata lain, Allah berkontak dengan
ciptaan-Nya karena Ia menghendakinya, dan bukan karena Ia
membutuhkan-Nya”. (ibid : 73). A.W. Tozer juga berkomentar : “Allah
memiliki suatu hubungan sukarela dengan segala sesuatu yang
dijadikan-Nya, tetapi Ia tidak membutuhkan hubungan apa pun dengan
sesuatu di luar diri-Nya sendiri. Minat-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya
timbul dari kesenangan-Nya yang agung dan bukan karena suatu kebutuhan
yang dapat dipenuhi oleh makhluk-makhluk itu dan juga bukan supaya
makhluk-makhluk itu menyempurnakan diri-Nya, karena diri-Nya sendiri
sudah sempurna”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Bahwa
kita ini ada itu sama sekali merupakan keputusan Allah yang ditentukan
atas kemauan-Nya sendiri, sama sekali bukan karena kita layak atau
karena Allah membutuhkan kita”. (ibid : 52).
Dalam
kaitannya dengan masalah kemuliaan yang telah disinggung di atas,
sebenarnya penciptaan manusia oleh Allah bukanlah dimaksudkan untuk
memperoleh kemuliaan, melainkan sebaliknya yaitu untuk menyatakan
kemuliaan-Nya kepada manusia. Berkhof kembali berkata : ‘Allah menciptakan bukanlah pertama-tama untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk menyatakan keluar segala kemuliaan-Nya’. (Berkhof : 253). Berkhof melanjutkan : ‘Tujuan
paling utama yang dilihat-Nya bukanlah untuk memperoleh kemuliaan,
tetapi untuk memanifestasikan kemuliaan-Nya dalam buah pekerjaan-Nya (ibid : 256). Perhatikan juga sebuah kalimat dalam buku Kepercayaan dan Kehidupan Kristen hal. 131 : “Manusia
diciptakan oleh Allah...dengan maksud agar manusia dapat bersekutu
dengan Allah dan mencerminkan kemuliaan-Nya di dunia’. Bandingkan ini dengan pendapat Henry C. Thiessen: ‘Pertama dan terutama, Ia menciptakan alam semesta ini untuk mempertunjukkan kemuliaan-Nya.’ (Teologi Sistematika ; 2000
: 181). Dengan kata lain penciptaan itu merupakan tindakan Allah
merealisasikan dan mengkomunikasikan kemuliaan-Nya. Leahy kembali
berkata bahwa : “Kemuliaan Allah terletak dalam komunikasi
kebaikan-Nya kepada ciptaan-ciptaan-Nya itu sendiri. Kemuliaan Allah
adalah manusia yang hidup”. (Leahy : 234). Leahy juga membagi kemuliaan Allah menjadi dua bagian yaitu (1) Kemuliaan Allah obyektif yakni kemuliaan Allah yang “permanen” dan sempurna dalam diri-Nya (seperti yang telah dijelaskan di atas) dan (2) Kemuliaan Allah formal yang berisi pengakuan komunikasi itu oleh pihak manusia. (ibid) sebagaimana kata Berkhof : “…pujian
kepada sang pencipta tidaklah menambahkan apa-apa kepada kesempurnaan
keberadaan-Nya, tetapi hanyalah mengakui kebesaran-Nya dan memberikan
kepada-Nya kemuliaan bagi-Nya”. (Berkhof : 257). Dengan pengertian
semacam ini maka sesungguhnya ketika manusia “memuliakan” dan
mengagungkan Tuhan, itu bukan berarti manusia memberikan tambahan
kemuliaan kepada-Nya, melainkan manusia mengakui kemuliaan-Nya yang
telah dinyatakan dan dikomunikasikan kepada, melalui dan di dalam
manusia itu. Inilah kemuliaan Allah formal, dan di sini pula terletak arti dari penciptaan manusia. Berkhof berkata : ‘Tujuan
tertinggi Allah dalam penciptaan, manifestasi kemuliaan-Nya, mencakup
juga kebahagiaan dan keselamatan bagi makhluk-Nya, dan penerimaan pujian
dari hati yang bersyukur dan mau menyembah’ (ibid : 253) dan Stephen Tong menulis : “Prinsip memuji Tuhan adalah manusia mengembalikan kemuliaan kepada Allah dalam statusnya sebagai manusia”. (Roh Kudus, Doa dan Kebangunan; 1995:62). Thiessen merangkum kedua kemuliaan ini (kemuliaan Allah obyektif dan kemuliaan Allah formal) dengan berkata : ‘Alam
semesta merupakan hasil karya Allah yang diciptakan dengan tujuan untuk
memperlihatkan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, patutlah kita
mempelajarinya agar dapat menyaksikan kemuliaan Allah. Selain itu,
adalah wajar bagi kita untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk memuliakan
Dia’. (Thiessen : 182). Adalah tak mungkin seorang gubernur
memberikan tanda penghargaan kepada seorang presiden. Kalaupun ada itu
adalah penghargaan yang tak berarti. Tetapi sangatlah berarti jika
seorang presiden memberikan penghargaan kepada seorang gubernur. Dan
lebih berarti lagi jika gubernur yang telah menerima tanda penghargaan
itu menghargai sang presiden (penghargaan formal). Dalam konteks inilah
ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21; 61:3; harus ditafsirkan. Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa alasan atau tujuan Allah menciptakan
manusia bukanlah untuk mencari keuntungan atau kemuliaan bagi diri-Nya
sendiri. Tindakan penciptaan itu bebas dari
dorongan internal maupun tekanan eksternal. Ia menciptakan alam semesta
termasuk manusia di dalamnya semata-mata karena Ia mau mencipta dan Ia
berkehendak untuk merefleksikan, merealisasikan, menyatakan dan
mengkomunikasikan kasih dan kemuliaan-Nya kepada, melalui dan di dalam
manusia. A.W. Tozer menulis : ‘Persoalan mengapa Allah
menciptakan alam semesta ini masih merupakan persoalan para ahli pikir ;
tetapi jika kita tidak dapat mengetahui mengapa, paling sedikit kita
mengetahui bahwa Ia tidak menjadikan dunia ini untuk memenuhi kebutuhan
diri-Nya sendiri, seperti seorang yang membangun sebuah rumah untuk
melindungi dirinya dari hujan dan panas atau menanam jagung di ladang
untuk memperoleh makanan. Bagi Allah kata ‘perlu’ itu sama sekali
asing’. (Tozer : 51). TERPUJILAH ALLAH YANG TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA, TERMASUK TIDAK MEMBUTUHKAN AKU DAN KAU.
Lihat bagian 2 : Mengapa Allah Menciptakan Manusia Menurut “Gambar” Dan “Rupa”-Nya?
Setelah kita melihat pengertian di atas, marilah kita membahas pertanyaan intinya yaitu “mengapa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya?” Pertama-tama marilah kita lihat bahwa manusia diciptakan Allah dan diberi tanggung jawab sebagai wakil Allah untuk menaklukkan, menguasai dan mengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Inilah yang kita kenal sebagai mandat kebudayaan (Kejadian 1:28). Hal ini berarti bahwa manusia memiliki dua status : (1) Manusia sebagai wakil Allah di bumi (2) Manusia sebagai penguasa/pengatur ciptaan-ciptaan yang lain. Jika kita bandingkan kedua status ini, maka status pertama lebih penting dan dominan dalam diri manusia daripada status kedua. Maksudnya adalah kualitas sebagai wakil Allah lebih besar atau lebih tinggi daripada kualitas sebagai penguasa ciptaan yang lain. Dengan kata lain manusia lebih dekat dengan Allah sebagai Tuhannya, daripada dengan ciptaan lain sebagai “hambanya”. Oleh sebab itu sebagai wujud dari status pertama ini, manusia perlu dilengkapi dengan “gambar” dan “rupa” Allah. Jadi “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya?” Di satu sisi Allah ingin menyatakan bahwa manusia lebih dekat dengan Allah sebagai pencipta dan Tuhannya daripada dengan ciptaan yang lain sebagai “hambanya”, dan di sisi lain Allah ingin membedakan manusia dengan ciptaan lain. Dapat juga dikatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia dimaksudkan untuk “mendekatkan jarak” antara manusia dengan Allah dan “menjauhkan jarak” antara manusia dengan ciptaan yang lain (binatang). Dengan demikian manusia sama seperti Allah (tetapi bukan Allah, dan berbeda dengan binatang). Selain itu dalam hubungan dengan status keduanya sebagai penguasa atau pengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain maka manusia perlu dilengkapi untuk melaksanakan tugasnya itu. Tugas yang berat itu tidak akan mungkin dilakukan tanpa sesuatu dari Allah. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. “Gambar” dan “rupa” Allah inilah yang merupakan potensi, kekuatan dan modal bagi manusia untuk melaksanakan tugasnya itu. Charles Hodge berkata : “Manusia adalah gambar Allah, sehingga membawa dan mencerminkan kesamaan ilahi di antara penghuni-penghuni lain di bumi, karena manusia itu roh, unsur yang cerdas dan berkehendak bebas; dan oleh karena itu sudah sepantasnya manusia ditetapkan untuk menguasai bumi’. (Systematic Theology : 99).
Bagian Kedua Dari Tiga Tulisan
Esra Alfred Soru
Manusia
diciptakan Allah sebagai ciptaan yang termulia, mahkota dari seluruh
ciptaan Allah. Ia berbeda dari makhluk yang lain sebab ia diciptakan
sesuai dengan atau menurut “gambar” dan “rupa” Allah. (Kejadian 1:26).
Ungkapan “gambar” dan “rupa” Allah (Inggris: The Image of God; Yunani : Morphe Tou Theon; Latin: Imago dan Similitudo Dei; Ibrani: Tselem dan Demuth) ini muncul tiga kali dalam Perjanjian Lama yaitu dalam Kejadian 1:26-27; 5:1-3; 9:5-6.
Pertanyaan yang perlu dipikirkan sekarang adalah “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan ”rupa”-Nya?” Sebelum
menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita perlu memahami apakah yang
dimaksud dengan “gambar” dan “rupa” Allah itu dan apakah yang
dimaksudkan dengan manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah,
dan melalui pengertian inilah kita mencoba untuk menjawab pertanyaan di
atas.
“Gambar” dan “rupa”(Allah)
Apakah
yang dimaksudkan dengan “gambar” dan “rupa” Allah? Apakah “gambar”
Allah berbeda dari “rupa” Allah dan dengan demikian ada 2 hal yang
berbeda di sini? Ataukah 2 kata ini menunjuk kepada satu hal saja? Sudah
cukup banyak pandangan yang membedakan kedua kata ini. Misalnya
Irenaeus dan Tertullian mengatakan bahwa “gambar” itu berhubungan dengan
tubuh sedangkan “rupa” berhubungan dengan natur spiritual. Aliran
Skolastik beranggapan bahwa “gambar” mencakup kekuatan intelektual untuk
berpikir dan kebebasan, sedangkan “rupa” dianggap sebagai kebenaran
asali. Selain itu, “gambar” dilihat sebagai karunia natural bagi manusia
(sesuatu yang menjadi milik manusia sebagai manusia), sedangkan “rupa”
dilihat sebagai kebenaran asali, karunia supra natural sebagai sebuah
cek bagi natur manusia. Namun demikian, nampaknya tidak ada perbedaan
berarti antara “gambar” dan “rupa” sehingga kita tidak perlu
mencari-cari perbedaan itu. Alkitab memperlihatkan bahwa kedua kata ini
dipakai secara sinonim dan saling bergantian dalam berbagai konteks.
Dalam Kej 1:26, kedua kata ini muncul bersama-sama : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang
melata yang merayap di bumi" tetapi dalam Kej 1:27 hanya “gambar” yang muncul : “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Selanjutnya dalam Kej 5:1 hanya digunakan kata “rupa” : “… Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah” sedangkan dalam Kej 5:3 kedua kata ini muncul bersama-sama : “Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya”. Kej 9:6 hanya memunculkan kata “gambar” : “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Di
dalam PB kita juga menemukan hal yang sama. 1 Kor 11:7 mencatat kata
“gambar” dan “kemuliaan”, Kol 3:10 hanya menggunakan kata “gambar” dan
Yak 3:9 hanya menggunakan kata “rupa”. Dari semua data Alkitab ini kita
harus berkesimpulan bahwa kedua kata ini (“gambar” dan “rupa”)
sesungguhnya menunjuk pada hal yang sama.
Diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah
Kita
sudah memahami makna kata “gambar” dan “rupa”. Kalau begitu apakah yang
dimaksudkan ketika Alkitab berkata bahwa manusia diciptakan menurut
“gambar” dan “rupa” Allah? Ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang makna “gambar” dan “rupa” Allah ini dalam diri manusia. Ada
yang mengatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah ini menunjuk kepada hal
yang bersifat jasmani saja. Mereka berkata bahwa andaikata Allah datang
di tengah-tengah kita, dalam dunia materi ini, Ia akan menjadi manusia.
(David Atkinson; Kejadian 1-11 : 41).
Sebaliknya, ada pula yang melihatnya sebagai hal yang menunjuk kepada
segi kerohanian saja dengan alasan bahwa Allah adalah Roh (tidak
bertubuh) seperti pandangan Louis Berkhof yang mengatakan ‘…Allah
adalah Roh, maka wajar jika kita beranggapan bahwa elemen kerohanian
ada juga dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah’ (Teologi Sistematika (Doktrin Manusia);
1995 : 51). Ada pula yang mengatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah
ini menunjuk kepada 2 hal sekaligus, jasmani dan rohani seperti
pandangan Walter Lempp : “Diciptakannya
manusia menurut gambar dan rupa Allah itu tidak boleh dimengerti hanya
mengenai hal kerohanian saja, melainkan harus dimengerti secara
kejasmanian. Manusia selengkapnya lahiriah dan batiniah diciptakan
secara Allah, menurut Allah, seakhlak, sebakat, setabiat dengan Allah. (Tafsiran Kitab Kejadian 1:1-4:6 (Cetakan Ketiga); 1974
: 37), tetapi ada juga yang menolak bahwa “gambar” dan “rupa” Allah
menunjuk kepada hal yang bersifat jasmani maupun rohani. Salah satunya
adalah Cristoph Barth yang berpendapat bahwa : “Jika
gambar dan rupa Allah ini dihubungkan dengan kejasmanian, maka Allah
terpaksa dibayangkan sebagai “manusia raksasa” dan sebaliknya manusia
sebagai “tiruan Allah” dalam bentuk yang lebih kecil. Tetapi jika
dihubungkan dengan hal yang bersifat rohani maka kita tidak luput dari
kesulitan bahwa Sang Khalik terlalu didekatkan dengan makhluk-Nya. (Theologia Perjanjian Lama; 1991 : 61). Bagi Barth, gambar dan rupa Allah hanya menunjuk kepada cara hidup dan bertindak.
Secara
pribadi saya lebih condong melihat “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri
manusia ini dalam hubungan dengan aspek-aspek non fisik (rohani) di
mana hal ini diperoleh sebagai refleksi dari keadaan rohani yang
sempurna yang dimiliki oleh Allah. Allah adalah roh dan tidak bertubuh
karenanya “gambar” dan “rupa” Allah tidak boleh diarahkan/dihubungkan
dengan aspek fisik. Alkitab memang berkali-kali mengindikasikan bahwa
Allah mempunyai tubuh (seperti : tangan Tuhan, mata Tuhan, kaki Tuhan,
dll) namun semuanya ini adalah bahasa anthropomorfisme yaitu penggambaran Allah seolah-olah manusia. Ini harus dipahami dari segi gaya
bahasa dan sastra Alkitab. Dengan demikian arti dari manusia diciptakan
menurut “gambar” dan “rupa” Allah adalah sebagai berikut : (1) Manusia diciptakan dengan sifat rohani. Sifat
rohani dalam diri manusia ini nampak dari adanya jiwa atau roh yang
sebenarnya adalah refleksi dari keberadaan Allah yang adalah Roh. Aspek
rohani ini hanya ada pada manusia saja, sebab hanya manusia sajalah yang
diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. Berkhof berkata : “Allah
adalah Roh, maka wajar jika kita beranggapan bahwa elemen kerohanian
ada juga di dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah”. (Berkhof : 51). (2) Manusia diciptakan dengan sifat moral. Manusia
diciptakan dengan sifat moral artinya manusia diberikan kemampuan untuk
membedakan yang baik dan yang jahat. Atas dasar kemampuan membedakan
yang baik dan yang jahat inilah manusia selalu diperhadapkan dengan
pilihan moral antara yang baik dan yang jahat. Sifat moral ini adalah
refleksi dari kesucian Allah. Atau dengan kata lain sifat kesucian Allah
ini ditransferkan dalam diri manusia berupa atau sebagai sifat moral. (3) Manusia diciptakan dengan sifat rasional. Allah
adalah kebenaran. Kebenaran Allah ini terefleksi dalam diri manusia
berupa sifat rasional. Sifat inilah yang membuat manusia dapat berpikir,
berencana, berargumentasi, dll. (4) Manusia diciptakan dengan sifat kekal.
Allah itu kekal adanya. Ketika Allah menciptakan manusia menurut
“gambar” dan “rupa”-Nya, maka kekekalan-Nya itu ada dalam diri manusia
walaupun dalam kualitas yang lebih rendah. Kekekalan Allah adalah
kekekalan yang tak berawal dan tak berakhir, sedangkan kekekalan manusia
adalah kekekalan yang berawal dan tak berakhir. Berkhof membedakan
kekekalan Allah dan kekekalan manusia ini sebagai berikut : “…hanya
Allah sajalah yang memiliki kekekalan sebagai kualitas esensial, yang
memilikinya di dalam dan hanya dari diri-Nya sendiri, sedangkan
kekekalan manusia adalah pemberian yang diperoleh dari Allah. (Berkhof : 52). Demikian juga Stephen Tong yang membedakan arti kata “eternal” dan kata “immortal” : ‘Kata eternal “eternal” itu berarti kekal, sedangkan kata “immortal” lebih berarti tidak rusak. Hanya Allah-lah satu-satunya “Ada” yang tak akan mengalami kerusakan. Ketidakrusakan Allah ini diberikan kepada manusia dalam bentuk sifat kekal’. (Majalah “MOMENTUM” No. 8 Bulan Juni, 1990: 5) (5) Manusia diciptakan dengan sifat kreatif. Sifat kreatif (daya cipta) ini diperoleh dari Allah yang adalah Sang Pencipta (Creator).
Sewaktu Sang Pencipta mencipta manusia, ia memasukkan ke dalam diri
manusia itu sifat yang sama yang ada pada diri-Nya dalam kualitas yang
lebih rendah sehingga manusia itu mempunyai daya cipta dan akhirnya
menjadi “pencipta-pencipta” kecil yang adalah gambaran Sang Pencipta
sendiri. Allah adalah pencipta awal (dari ketiadaan menjadi ada) atau
penyebab awal (Causa Prima). Manusia adalah ciptaan yang
mempunyai kemampuan untuk “mencipta” (karena diberi daya cipta). Jadi
dapat dikatakan bahwa manusia adalah penyebab kedua (Causa Sekundar).
Sang Pencipta menciptakan kita sebagai ciptaan dengan daya cipta
sehingga kita juga dapat menjadi “pencipta” dari apa yang kita
“ciptakan”. (6) Manusia diciptakan dengan sifat sosial. Setelah menciptakan Adam maka Allah melihat bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri” itulah
sebabnya Ia menciptakan Hawa sebagai sahabat manusia itu (Adam)
sehingga Adam dapat berhubungan, berkomunikasi, berbicara dan
berinteraksi dengan Hawa, demikian pula sebaliknya. Manusia tidak
dibiarkan sendiri dan kesepian. Jadi manusia diciptakan sebagai suatu
makhluk sosial. Manusia diciptakan untuk hidup bersama. Sesungguhnya hal
semacam ini bersumber dari sifat sosial Allah. Allah bukanlah Allah
yang “seorang diri” atau sendirian dan kesepian. Kenyataan
ketritunggalan Allah mengajarkan kepada kita bahwa pribadi-pribadi itu
(Bapa, Anak dan Roh Kudus) saling berhubungan, berkomunikasi, berbicara
satu sama lain-Nya pada masa pra created (sebelum
penciptaan). Allah kita adalah Allah sosial. Sifat sosial Allah inilah
yang ditularkan kepada manusia. Itulah “gambar dan “rupa” Allah dalam
diri manusia. Selain 6 hal di atas, masih juga
ada sifat yang lain di antaranya sifat relasi, sifat persekutuan, sifat
kesempurnaan, sifat pengharapan, dll. (Baca lengkap sifat-sifat ini
dalam buku Stephen Tong; Peta dan Teladan Allah; 1990: 55-57).
Mengapa Demikian?
Setelah kita melihat pengertian di atas, marilah kita membahas pertanyaan intinya yaitu “mengapa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya?” Pertama-tama marilah kita lihat bahwa manusia diciptakan Allah dan diberi tanggung jawab sebagai wakil Allah untuk menaklukkan, menguasai dan mengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Inilah yang kita kenal sebagai mandat kebudayaan (Kejadian 1:28). Hal ini berarti bahwa manusia memiliki dua status : (1) Manusia sebagai wakil Allah di bumi (2) Manusia sebagai penguasa/pengatur ciptaan-ciptaan yang lain. Jika kita bandingkan kedua status ini, maka status pertama lebih penting dan dominan dalam diri manusia daripada status kedua. Maksudnya adalah kualitas sebagai wakil Allah lebih besar atau lebih tinggi daripada kualitas sebagai penguasa ciptaan yang lain. Dengan kata lain manusia lebih dekat dengan Allah sebagai Tuhannya, daripada dengan ciptaan lain sebagai “hambanya”. Oleh sebab itu sebagai wujud dari status pertama ini, manusia perlu dilengkapi dengan “gambar” dan “rupa” Allah. Jadi “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya?” Di satu sisi Allah ingin menyatakan bahwa manusia lebih dekat dengan Allah sebagai pencipta dan Tuhannya daripada dengan ciptaan yang lain sebagai “hambanya”, dan di sisi lain Allah ingin membedakan manusia dengan ciptaan lain. Dapat juga dikatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia dimaksudkan untuk “mendekatkan jarak” antara manusia dengan Allah dan “menjauhkan jarak” antara manusia dengan ciptaan yang lain (binatang). Dengan demikian manusia sama seperti Allah (tetapi bukan Allah, dan berbeda dengan binatang). Selain itu dalam hubungan dengan status keduanya sebagai penguasa atau pengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain maka manusia perlu dilengkapi untuk melaksanakan tugasnya itu. Tugas yang berat itu tidak akan mungkin dilakukan tanpa sesuatu dari Allah. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. “Gambar” dan “rupa” Allah inilah yang merupakan potensi, kekuatan dan modal bagi manusia untuk melaksanakan tugasnya itu. Charles Hodge berkata : “Manusia adalah gambar Allah, sehingga membawa dan mencerminkan kesamaan ilahi di antara penghuni-penghuni lain di bumi, karena manusia itu roh, unsur yang cerdas dan berkehendak bebas; dan oleh karena itu sudah sepantasnya manusia ditetapkan untuk menguasai bumi’. (Systematic Theology : 99).
Dalam bagian pertama tulisan ini (Mengapa Allah Menciptakan Manusia?)
telah dijelaskan bahwa penciptaan manusia oleh Allah dengan tujuan
untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam manusia. Kemuliaan Allah yang
telah ada dalam manusia ini perlu dinyatakan melalui hidup manusia
sehingga melalui itu terjadi pengakuan terhadap kemuliaan Allah yang
telah dinyatakan (Kemuliaan Allah formal). Louis Leahy mengatakan bahwa :
‘kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup’ (Louis
Leahy; 1993 : 234). Sekarang persoalannya adalah bagaimana caranya agar
kemuliaan Allah dapat dipancarkan melalui kehidupan manusia? Caranya
adalah manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah, sehingga
dengan mengamati manusia, pikiran kita langsung terarah kepada pencipta
manusia itu yaitu Allah. Jika kita melihat bahwa manusia itu adalah
makhluk rohani, maka kita langsung berpikir tentang Allah yang Roh
adanya. Jika kita melihat bahwa manusia bermoral, maka pikiran kita
langsung terarah kepada Allah yang suci. Jika kita melihat bahwa manusia
berrasio, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang adalah
Kebenaran. Jika kita melihat bahwa manusia itu adalah makhluk yang
kekal, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang kekal
adanya. Jika kita melihat adanya daya cipta (kreatifitas) dalam diri
manusia, maka pikiran kita akan terarah kepada Allah sebagai Pencipta
segala sesuatu. Dan jika kita melihat manusia sebagai makhluk sosial
maka kita dapat memahami Allah sebagai Allah sosial dalam ketritunggalan
yang kudus. Singkatnya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia
menuntun kita kepada Allah sebagai wujud asli dari “gambar” dan “rupa”
itu.
Ketika
manusia jatuh ke dalam dosa, maka gambar dan rupa Allah yang ada
padanya mengalami kerusakan (distorsi, sehingga kadang kemuliaan Allah
tak nampak/terpencar dari kehidupan manusia, malah sebaliknya manusia
melawan dan menentang Allah. Suatu contoh, manusia yang seharusnya
dengan rasionya mempermuliakan Allah justru memperilah rasionya dan
menentang Allah. Segala sesuatu (termasuk Allah) harus diukur dengan
rasio (Rasiosentris). Yang masuk akal dapat diterima dan
yang tak masuk akal ditolak. Inilah krisis rasio dalam diri manusia.
Sekalipun demikian, kita patut bersyukur sebab “gambar” dan “rupa” Allah
dalam diri manusia itu telah diperbaharui di dalam manusia Yesus
Kristus. Ia adalah manusia pertama pasca kejatuhan yang memiliki
“gambar” dan “rupa” Allah yang sempurna (tidak distortif) dalam
diri-Nya, dan melalui hidup-Nya selama di dunia kemuliaan Allah
dinyatakan dan terpencar dengan sempurna. Itulah sebabnya Ia dapat
berkata “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa-Ku”.
Tujuan
lain dari pemberian gambar dan rupa Allah dalam diri manusia adalah
sebagai pemberian atau penyediaan sarana persekutuan demi terjalinnya
hubungan atau persekutuan secara pribadi antara manusia dengan Allah.
Dengan adanya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia, memungkinkan
manusia untuk berrelasi dengan Allah. Stephen Tong berkata bahwa : “Manusia adalah makhluk rohani sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan dunia yang tak kelihatan”. (Stephen Tong : 57) Louis Berkhof melihat “gambar” dan “rupa” Allah sebagai : ‘kualitas yang menjadikan manusia istimewa dalam hubungan dengan Allah’ (Louis Berkhof; Teologi Sistematika (Doktrin Allah); 1993 : 53), bahkan Robert Davidson mengatakan bahwa : “Manusia diciptakan untuk hidup dalam hubungan pribadi yang mesra dengan Allah’. (Robert Davidson; Alkitab Berbicara; 1986 : 14-15). Semuanya itu memberikan jawaban bagi kita bahwa
hubungan pribadi dengan Allah hanya dimungkinkan dengan adanya “gambar”
dan “rupa” Allah dalam diri manusia. Binatang dan ciptaan yang lain tak
dapat berhubungan secara pribadi dengan Allah, sebab “gambar” dan
“rupa” Allah tidak ada dalam mereka. Binatang dan ciptaan yang lain bisa
taat pada perintah Allah seperti bintang yang menuntun para Majus
mencari Yesus, seperti gagak yang mengantarkan makanan bagi Elia,
seperti ikan yang menelan Yunus namun mereka tidak bisa berkomunikasi,
tidak bisa berdialog atau tidak bisa memberi jawab kepada Allah.
Bandingkan kenyataan ini dengan manusia yang diciptakan menurut “gambar”
dan “rupa” Allah. Kej 3:9-10 : “Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya “Di manakah engkau?” Ia menjawab…” , Yer 1:3-4 : “…berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya “Musa-Musa!” dan Ia menjawab “Ya Allah”, Yer 1:4,6 : “Firman Tuhan datang kepadaku bunyinya… maka aku menjawab…”.
Jadi pemberian “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia adalah
sebagai sarana demi terjalinnya hubungan pribadi antara Allah dan
manusia. “Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia dapat
bertanya kepada Allah sekaligus mengharapkan jawaban dari Allah. Gambar”
dan “rupa” Allah itulah yang membuat Allah dapat bertanya kepada
manusia dan mengharapkan jawaban dari manusia. Gambar” dan “rupa” Allah
itulah yang membuat manusia bisa mengatakan “ya” dan “tidak” kepada Allah. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa mengerti “ya” dan “tidak” sebagai jawaban dari Allah. Singkatnya, “gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa berbicara ‘tentang Allah’, ‘kepada Allah’ dan ‘dengan Allah’.
Kita dapat simpulkan keseluruhan pembahasan ini dan menjawab pertanyaan “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya? Sebagai
berikut : (1) Karena Allah ingin membedakan manusia dari ciptaan yang
lain (binatang), sekaligus untuk menyatakan bahwa manusia lebih mirip
dengan-Nya daripada dengan binatang. (menentang teori evolusi). (2)
Karena Allah ingin agar melalui kehidupan manusia, kemuliaan-Nya yang
telah dinyatakan itu dapat terpancar. (3) Karena Allah ingin menjalin
hubungan pribadi yang intim dan mesra dengan manusia. Atau lebih tepat
dikatakan bahwa agar manusia dapat berhubungan secara pribadi dengan
Allah.
Lihat bagian 3 : Mengapa Allah Menciptakan Manusia Pada Hari Keenam?
Bagian Terakhir Dari Tiga Tulisan
Esra Alfred Soru
Esra Alfred Soru
Dalam bagian pertama dan kedua tulisan ini telah dibahas dua pertanyaan di sekitar penciptaan manusia yakni “Mengapa Allah Menciptakan Manusia ?” dan “Mengapa Allah Menciptakan Manusia Menurut ‘Gambar’ dan ‘Rupa’-Nya?” Satu
fakta lain lagi tentang penciptaan manusia yang dikatakan kitab
Kejadian adalah bahwa penciptaan manusia itu oleh Allah diletakkan pada
ordo penciptaan dalam urutan terakhir yakni pada hari keenam.
Keseluruhan ordo penciptaan itu adalah sebagai berikut : hari pertama
Allah menciptakan terang, hari kedua Allah menciptakan cakrawala, hari
ketiga Allah menciptakan laut dan darat, memisahkannya, serta
menciptakan tumbuh-tumbuhan, hari keempat Allah menciptakan benda-benda
penerang (matahari, bulan, bintang), hari kelima Allah menciptakan
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, hari keenam Allah
menciptakan manusia dan hari ketujuh Allah berhenti dan menguduskan hari
itu.
Dalam
daftar di atas kita dapat melihat bahwa manusia diciptakan paling
terakhir dari segala ciptaan yang lain yaitu pada hari keenam. The final creation of God is the existence of man. Mengapa
demikian? Mengapa Allah tidak menciptakan manusia pada hari-hari
sebelumnya? Apakah penciptaan manusia pada hari keenam mempunyai makna
khusus, ataukah hanya suatu kebetulan saja? Sebelum kita menjawab
pertanyaan ini baiklah kita pahami bahwa segala sesuatu yang terjadi
atau dilakukan Allah di dalam dunia ini terjadi sesuai dengan
rencana-Nya yang matang, agung dan kekal dan bukan sekedar suatu
kebetulan belaka. Semua yang dikerjakan Allah adalah sempurna dan baik
dalam perencanaan-Nya. Itulah sebabnya dalam hari-hari penciptaan kita
dapat melihat kalimat-kalimat indah yang berbunyi : “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. (Kej 1: 1:4,10,12,18,21,25) bahkan setelah penciptaan manusia kalimat ini lebih meningkat : “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik…” (Kej
1:31). Dari terang ini bisa mengerti bahwa segala sesuatu yang
diciptakan Allah, terlebih manusia adalah suatu tindakan yang memiliki
nilai kebaikan dan dilaksanakan berdasarkan
perencanaan-ya yang matang dan sempurna. Jadi tidak ada yang kebetulan
bagi Allah. Dengan demikian kita dapat percaya bahwa penciptaan manusia
yang terjadi pada hari keenam juga termasuk dalam rencana Allah atau
dengan kata lain itu bukan sebuah kebetulan melainkan sesuatu yang
mengandung makna khusus.
Keistimewaan Manusia
Jadi mengapa Allah menciptakan manusia pada hari keenam? Mengapa
dalam ordo penciptaan Allah menempatkan manusia pada bagian akhir?
Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan adalah bahwa manusia adalah
makhluk yang sangat istimewa di mata Allah dibandingkan dengan
ciptaan-ciptaan lainnya. Perlakuan Allah yang istimewa kepada manusia
ini sebenarnya nampak dalam banyak hal di antaranya adalah (1) Manusia diciptakan melalui perundingan ilahi. Kej 1:26 berbunyi : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia…”. Ini jelas sangat berbeda dengan penciptaan makhluk/benda yang lain karena Alkitab mencatat penciptaan mereka dengan kalimat “Berfirmanlah Allah…”. Ada banyak pandangan tentang siapakah/apakah “KITA” dalam Kej 1:26
ini namun secara umum diterima bahwa kata “KITA” itu adalah indikasi ke
arah kenyataan ketritunggalan Allah. Pribadi-pribadi dalam keallahan
mengadakan semacam ‘perundingan’ sebelum menciptakan manusia. R. Soedarmo menulis : “Tuhan
Allah waktu menjadikan makhluk-makhluk lain hanya berfirman saja
“Jadilah ini” dan “Jadilah itu”. Tetapi ketika Tuhan akan menjadikan
manusia, Ia bermusyawarah”. (Ikhtisar Dogmatika; 2001 : 139) sedangkan Charles C. Ryrie berpendapat : “Karya penciptaan manusia didasarkan atas perundingan sidang Allah…. Manusia bukan dipikirkan-Nya kemudian, melainkan hasil pemikiran terdahulu dalam benak Allah”. (Teologi Dasar; 2001 : 255). (2) Manusia diciptakan menurut ‘gambar’ dan ‘rupa’ Allah. Maksudnya
adalah bahwa sewaktu Allah menciptakan manusia, Ia memasukkan sebagian
unsur diri-Nya dalam kualitas yang lebih rendah ke dalam manusia itu
sehingga manusia itu menjadi mirip dengan Allah. Ini jelas membedakan
manusia dengan ciptaan yang lain Ini juga membuktikan keistimewaan
manusia di hadapan Allah (baca kembali bagian kedua tulisan ini : “Mengapa Allah Menciptakan Manusia Menurut ‘Gambar’ dan ‘Rupa’-Nya?”). (3) Manusia diciptakan untuk berkuasa. Ya!
Manusia diciptakan untuk berkuasa atas segala ciptaan yang lain.
Manusia diciptakan untuk menguasai sedangkan ciptaan yang lain
diciptakan untuk dikuasai. Kej 1:26 : “….supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan
atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Kej 1:28 : “…penuhilah
bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Jadi manusia adalah “allah” bagi ciptaan yang lain. Stephen Tong menulis : “…manusia
juga diberi sifat kebebasan, bagaikan “tuhan kecil” di tengah-tengah
ciptaan di dunia ini. Maka manusia memainkan peranan keallahan terhadap
binatang dan alam semesta ini. Kita akan menjadi “allah” bagi anjing
atau kucing kita. Kalau kita tidak ada, binatang itu menjadi “ateis”.
Dengan kehadiran kita, ia menjadi “teis”. Tetapi ia tidak dapat
membedakan teis yang mana, karena ia tidak dapat melihat Allah yang
rohani, yang tidak kelihatan. Ia hanya dapat melihat allah yang
kelihatan, yaitu diri kita. Maka kita menjadi penolong, juruselamat,
pemberi hidup, pemelihara, ataupun pembunuh mati bagi anjing-anjing
kita, Jadi bagi anjing kita, kita adalah Allahnya.” (Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Setan; 1999:14). Jadi inilah keistimewaan-keistimewaan manusia dibanding dengan ciptaan yang lain.
Bahwa
manusia diciptakan pada hari keenam, terakhir dari ciptaan yang lain
juga membuktikan keistimewaannya yang lain. Sewaktu manusia membuka mata
untuk pertama kalinya, ia sudah dapat melihat segala sesuatu yang serba
teratur dan indah. Ia dapat melihat langit, matahari, bulan dan
bintang. Ia dapat melihat ikan, bunga, pohon dan binatang serta tumbuhan
yang lainnya. Ia dapat melihat lautan luas dan sungai yang mengalir.
Segala sesuatu telah selesai barulah manusia itu hadir. Allah
mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran manusia laksana
suatu wilayah disiapkan, diperindah dan dipercantik untuk menyambut
kehadiran “Very Important Person” (VIP). Sungguh betapa
berharganya dan betapa pentingnya manusia. Segala sesuatu diciptakan
untuk manusia dan bukan manusia untuk segala sesuatu. Stephen Tong
menulis : “Bila dilihat dari urutan, yang terakhir itu
biasanya yang paling kecil dan paling tidak penting. Mengapa? Karena
manusia diciptakan dengan tujuan untuk dapat menikmati segala sesuatu
yang telah diciptakan sebelumnya. (Peta dan Teladan Allah; 1995 : 6). Stephen Tong melanjutkan : “Segala
sesuatu telah selesai baru manusia tiba untuk menikmati semuanya itu.
Berarti alam semesta tidak lebih penting daripada manusia. Manusia lebih
tinggi daripada alam semesta. Kita diciptakan lebih tinggi daripada
dunia materi” (ibid). Perhatikan juga komentar Budi Asali : “Allah
mencipta atau mengatur segala sesuatu untuk manusia, sebelum manusia
diciptakan. Tempat sudah diatur dengan baik. Bayangkan andaikata Tuhan
menciptakan manusia sebelum Ia memisahkan air dengan daratan. Makanan
yaitu tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan (Kej 1:29), sudah disediakan lebih dulu”. (Eksposisi Kitab Kejadian :
10). Semuanya ini membuktikan keberhargaan manusia di mata Allah.
Jelaslah bahwa penempatan manusia pada bagian akhir ordo penciptaan
bukan suatu kebetulan tanpa makna tetapi suatu merupakan suatu rancangan
yang mengandung nilai yang sangat besar. Manusia adalah makhluk yang
berharga di mata Allah di antara ciptaan-ciptaan yang lain. Itulah yang
mau dikatakan Allah. Sebagaimana seorang bayi sebelum lahir sudah
disediakan baju, tempat tidur, selimut karena dia lebih penting daripada
tempat tidur, popok, selimut, dsb. Segala sesuatu dipersiapkan untuk
menyambut kedatangannya. Demikian Allah menciptakan segala sesuatu untuk
menyambut kita, yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Manusia
berkehormatan luar biasa, mempunyai tujuan yang sangat tinggi yang
ditetapkan oleh Tuhan. (Stephen Tong; Peta… : 7).
Dari
sudut pandang manusia, dapat pula ditambahkan bahwa sesungguhnya
penciptaan manusia pada hari keenam semata-mata demi kebaikan dan
“keamanan” manusia itu sendiri. Dengan kata lain akan berakibat sangat
tidak baik bagi manusia itu jika ia tidak diciptakan pada hari keenam
setelah segala sesuatu diciptakan. Jika manusia diciptakan terlebih
dahulu dari penciptaan terang maka dapat dibayangkan apa yang akan
terjadi. Manusia tentu akan hidup dalam kegelapan yang sangat gelap
karena terang belum diciptakan, demikian pula benda-benda penerang
lainnya apalagi saat itu gelap gulita menutupi samudera raya (Kej
1:2). Jika manusia diciptakan terlebih dahulu dari pemisahan laut dan
darat maka di mana ia akan tinggal? Bukankah bumi sedang ditutupi oleh
samudera raya? Manusia ditetapkan untuk hidup di darat, sedangkan saat
itu darat belum ada. Manusia bukanlah ikan yang dapat hidup di air. Jika
manusia diciptakan terlebih dahulu dari tumbuh-tumbuhan maka apakah
yang akan dimakannya? Mungkinkah manusia akan mempertahankan hidupnya
hanya dengan meminum air yang memang saat itu begitu melimpah? Allah
menciptakan manusia pada bagian akhir ordo penciptaan justru demi
kebaikan dan keamanan manusia itu sendiri. Meskipun alasan-alasan ini
sifatnya sekunder namun dapat dipahami alasan Allah menciptakan manusia
pada hari keenam.
Manusia
seharusnya bersyukur karena ia diciptakan pada hari keenam di mana
semua ciptaan telah diciptakan oleh Allah sehingga akibat-akibat yang
dilukiskan di atas tidak sampai terjadi. Tentunya gambaran di atas tidak
bermaksud untuk mengurangi kemahakuasaan Allah yang dapat membuat
manusia itu dapat melihat dalam kegelapan (jika ia diciptakan terlebih
dahulu dari penciptaan terang dan benda-benda penerang), hidup dalam air
atau dapat terbang (jika ia diciptakan terlebih dahulu dari pemisahan
air dan darat), serta dapat menahan lapar atau tidak mempunyai rasa
lapar (jika ia diciptakan terlebih dahulu dari tumbuh-tumbuhan), dan
mujizat-mujizat lainnya. Gambaran atau pengandaian semacam ini tidak
boleh dilihat secara terpisah dari alasan primernya yakni bahwa
urut-urutan penciptaan di mana manusia diciptakan paling akhir hendak
menunjukkan bahwa manusia itu sangat berharga di mata Allah. Sekarang
jelaslah bagi kita bahwa Allah menciptakan kita pada hari keenam sebab
semuanya itu demi kebaikan dan kepentingan serta “keamanan” kita di
samping alasan primernya yakni bahwa kita sangat berharga di mata-Nya.
Merenungkan semuanya ini, baiklah bersama pemazmur kiranya semua manusia
berseru : “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di
seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Dari
mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kau letakkan dasar
kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam. Jika
aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang
Kau tempatkan : apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah
anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah
membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan
kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu;
segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya : kambing domba dan
lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi
arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh
bumi!” (Maz 8:2-10).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar